WELCOM TO MY BLOG

WELCOME TO MY BLOG
Powered By Blogger

Sabtu, 26 Februari 2011

Jayanya 4-2-3-1 Dan Matinya 4-4-2

Piala Dunia 2010 memunculkan fenomena baru dalam sepak bola. Skema 4-2-3-1 kini menjadi raja dan mematikan formasi konvensional 4-4-2.
Selama putaran final turnamen ini, formasi lima pemain tengah menjadi pilihan banyak tim di fase gugur. Setidaknya tiga dari empat semifinalis memakai skema tersebut. Taktik ini bisa sangat lentur karena sewaktu-waktu bisa berubah menjadi 4-5-1 untuk meredam lawan, tapi juga bisa berubah menjadi 4-3-3 untuk menyuntikkan serangan.
Kecenderungan menggunakan dua gelandang bertahan tersebut sedikit banyak terinspirasi oleh kekuatan Inter Milan musim lalu. Inter menjadi jawara Eropa dengan memainkan Thiago Motta dan Esteban Cambiasso sebagai gelandang jangkar yang berperan merusak permainan lawan. Demi taktik ini, Pelatih Jose Mourinho rela mengubah striker Samuel Eto’o menjadi winger yang kadang menjelajah sampai ke belakang.
Setidaknya ada tiga tim yang memakai formasi 4-2-3-1 ini di semifinal kali ini. Contoh paling nyata adalah Jerman. Sejak awal, Pelatih Joachim Loew begitu percaya diri mengedepankan skema ini bersama pemain-pemain mudanya. Miroslav Klose sangat dimanjakan oleh pergerakan Lukas Podolski, Mesut Oezil, dan Thomas Mueller. Di belakangnya, Sami Khedira dan Bastian Schweinsteiger bertindak sebagai gelandang bertahan.
Yang perlu dicatat dari penampilan Jerman ini adalah sikap mereka yang reaktif terhadap permainan lawan. “Der Panzer” seolah hanya menunggu kesempatan menyerang balik karena trio Podolski, Oezil, dan Mueller sangat efektif saat merangsek musuh. Ketika barisan penyerang mulai macet, gelandang bisa membantu memecah kebuntuan seperti dilakukan Schweinsteiger saat melawan Argentina.
Jerman sungguh apes karena di semifinal mereka menghadapi musuh alot, Spanyol. Di laga inilah, Spanyol yang tadinya memainkan Fernando Torres dan David Villa dengan pola 4-4-2 justru berubah meniru Jerman dengan 4-2-3-1. Hilangnya Fernando Torres dari daftar starter membuat Villa menjadi target man.
Spanyol dengan gaya tiki taka ala Barcelona tidak kaku menerapkan formasi lima pemain tengah ini. Xavi Hernandez dapat tetap di belakang, sementara Andres Iniesta dan Pedro Rodriguez lebih ke depan dan membentuk skema 4-2-1-3, hampir mirip dengan 4-3-3 milik Barcelona.
Satu hal yang menjadi kekurangan Spanyol adalah sedikitnya jumlah gol yang mereka koleksi. Akan tetapi, Spanyol pun beruntung karena prioritas ball possession yang mereka mainkan membuat lawan sulit pula mendapatkan gol. Pada akhirnya, kesabaran Spanyol mengocok posisi lawan bisa menimbulkan celah di pertahanan seperti ketika menghadapi Jerman dan Belanda.
Belanda juga memakai dua pemain bertahan sebagai penyambung lini belakang dan bertahan. Tugas itu diserahkan kepada kapten Bayern Muenchen, Mark van Bommel, dan gelandang Manchester City, Nigel De Jong. Dirk Kuyt, Wesley Sneijder, dan Arjen Robben memilih berada di belakang Robin van Persie.
Sayangnya, “De Oranje” tidak berani memainkan sepak bola menyerang ala total football seperti yang diperagakan Johan Cruyff dkk di era 1970-an. Pelatih Bert van Marwijk lebih suka memakai gaya pragmatis yang disebutnya “bermain jelek”.
Selain mereka, hampir semua benua memiliki tim dengan formasi ini. Ghana memampatkan lima gelandangnya di lapangan tengah untuk menyongkong Asamoah Gyan sebagai satu-satunya striker. Asia juga mengejawantahkannya dalam diri Jepang. Dari Amerika Selatan, Brasil dan Argentina juga menggunakan taktik ini.
Bagaimana dengan pola 4-4-2? Dua tim yang cinta mati dengan formasi ini adalah Inggris. Italia juga sempat memakai cara ini, tapi tetap tak bisa menaklukkan Selandia Baru. Yang cukup beruntung dengan formasi ini adalah Uruguay, yang akhirnya menempati peringkat keempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar